Driau.com - Cerita Rakyat dari Bangka Belitung – Si Janda dan Bujang Katak
ilustrasi. thanks to nusantara.co |
Pada suatu masa, tersebutlah sebuah dusun dikaki bukit di Pulau Bangka. Di dusun itu tinggal seorang janda tua seorang diri di gubuknya yang sudah lapuk. Setiap hari janda miskin itu membanting tulang untuk menghidupi dirinya yang sebatang kara. Ladangnya yang tak seberapa luas itu Ia kerjakan dengan tenaganya yang sudah lemah.
Pada suatu hari ia turun ke ladangnya Karena musim menanam telah tiba. Ladang itu agak jauh dari rumah, maka ia harus berjalan kaki beberapa lamanya. Sebentar-sebentar si janda berhenti melepaskan lelah. “Kalau saja aku punya anak tentu aku tak perlu repot mengerjakan ladangku” kata si Janda. “Ya Tuhan berilah hamba seorang anak. Berupa katak pun hamba rela” doanya di saat beristirahat.
Beberapa hari kemudian, Tuhan mengabulkan doanya. Si Janda hamil. Kabar kehamilan janda tua itu tentu menggemparkan dusun. Seorang nenek hamil. Setelah genap sembilan bulan janda itu melahirkan seekor katak sebesar bayi manusia. Orang-orang di desa itu amat terkejut melihatnya. Si Janda menerima kelahiran anaknya dengan gembira. Ia mengasuh anaknya layaknya mengasuh bayi manusia.
Waktu terus berlalu anak itu tumbuh remaja. Orang-orang dusun menyebutnya dengan nama Bujang Katak. Walaupun berwujud katak. Bujang Katak dapat berbicara seperti manusia. Setiap hari Bujang Katak membantu pekerjaan ibunya di ladang
Suatu hari Bujang Katak terlihat murung “Anakku ibu lihat beberapa hari ini kamu sering melamun. Ada apa gerangan?” Tanya si Janda. “Ibu aku sudah dewasa. Sudah saatnya aku beristri. Lamarkan putri raja untuk jadi istriku,” pinta Bujang Katak.
Betapa terkejutnya si Janda mendengar permintaan anaknya yang terasa mustahil itu. Namun karena sayangnya pada Bujang Katak maka berangkatlah si Janda ke istana.
Raja yang memimpin negeri itu memiliki tujuh putri. Semuanya berparas cantik. Saat si Janda menghadap, kebetulan seluruh keluarga Raja sedang berkumpul. Dengan takut-takut si Janda mengutarakan maksudnya. Mendengar lamaran itu marahlah sang Raja. Namun ia masih berbaik hati meminta pendapat ketujuh putrinya. Putri sulung hingga puri keenam menolak lamaran itu. Saat si Bungsu hendak mengutarakan pendapatnya cepat-cepat sang Raja meminta prajurit menyeret si Janda keluar dari istana.
Sedih hati si Janda diperlakukan seperiti itu. Sesampai di rumah ia mengabarkan kegagalannya kepada Bujang Katak. Namun Bujang Katak berkeras hati ingin memperistri salah satu putri raja.
Hari berikutnya, si Janda diiringi Bujang Katak kembali menghadap sang Raja. Sesampai di hadapan raja si Janda mengulangi lamarannya.
“Hai perempuan tua! Berani-beraninya kau datang kembali. Inikah anakmu si Bujang Katak?” kata sang Raja marah. “Wahai Putri-putriku. Apakah di Antara kalian ada yang mau menikah dengan manusia katak itu?” Tanya sang Raja kepada ketujuh putrinya.
Putri sulung hinga putri keenam maju kemudian meludahi kepala si Janda. Bujang Katak amat geram melihat ibunya diperlakukan seperti itu.
“Kau lihat itu, Bujang Katak? Semua purtiku tak menerima pinanganmu,” kata sang Raja. Tiba-tiba Putri bungsu yang berhati lembut itu mengatakan bersedia menikah dengan Bujang Katak. Sang Raja beserta seluruh yang hadir terkejut mendengarnya.
“Baiklah, Bujang Katak. Karena putri bungsuku bersedia menikah denganmu maka buatkan jembatan emas dari rumahmu hingga ke istana dalam waktu satu minggu. Jika syarat itu kau penuhi, maka engkau akan kunikahkan dengan si Bungsu” titah sang Raja. Walaupun terasa mustahil namun Bujang Katak menyanggupinya.
Malam itu juga, Bujang Katak meninggalkan rumah. Ibunya heran mengikutinya dari belakang. Sesampai di suatu tempat yang sunyi di tengah hutan. Bujang Katak bersemedi. Si Janda hanya memeperhatikannya dari jauh. Sudah enam hari Bujang katak bertapa.
Pada tengah malam, tiba-tiba tubuh Bujang Katak diliputi sinar yang amat menyilaukan mata. Perlahan-lahan kulit Bujang Katak mengelupas. Ia berubah menjadi tumpukan emas batangan yang amat banyak. Semalam suntuk Bujang Katak menyusunnya menjadi jembatan yang menghubungkan rumahnya dengan istana raja. Terwujudlah jembatan emas yang diminta sang Raja.
Keesokan harinya sang Raja beserta seluruh keluarganya terpana melihat jembatan emas yang amat indah membentang di depan istana, tak berapa lama, tampak seorang pemuda tampan berjalan beriringan dengan di Janda.
“Ampun baginda hamba adalah Bujang Katak. Jembatan permintaan baginda sudah hamba penuhi” Kata si Pemuda Tampan yang tak lain adalah Bujang Katak.
Baginda amat terkejut. Lebih-lebih kakak-kakak Putri Bungsu. Mereka menyesal telah menolak lamaran Bujang Katak tempo hari. Demikianlah akhirnya Bujang katak yang tampan itu menikah dan hidup berbahagia bersama Putri Bungsu. Si Janda pun hidup bersama di istana. Saat sang Raja mulai tua, Bujang Katak diangkat sebagai penggantinya. Kerajaan semakin makmur di bawah pimpinan Bujang Katak yang bijaksana.
Demikian Cerita Rakyat dari Bangka Belitung - Si Janda dan Bujang Katak semoga menjadi pelajaran untuk kita agar tidak menanggap remeh pada sesuatu yang buruk. Bisa jadi sesuatu yang buruk itu kelak adalah yang paling baik hanya saja orang sering menganggap rendah kepadanya.
Sumber: 366 Cerita Rakyat Nusantara