Driau.com - KHUTBAH IDUL FITRI 1439 H dengan judul RAMADHAN DAN KEMENANGAN SPIRITUAL, EMOSIONAL DAN INTELEKTUAL. KHATIB: DR. H. HELMI BASRI,LC., MA, Dosen Pasca Sarjana UIN Suska Riau. Khutbah Idul Fitri ini disampaikan pada Khutbah Idul Fithri 1439 H. Di Masjid Raya An- Nur Pekanbaru
KHUTBAH PERTAMA
Ma`asyiral Muslimin wal Muslimat Rahimakumullah
Puji dan syukur marilah senantiasa kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan ni`mat dan karuniaNya bagi kita dalam setiap saat, tidak ada satu detikpun hidup yang kita jalani kecuali pada saat itu ada ni`mat Allah yang menyertai kita, udara yang sedang kita hirup, darah yang masih mengalir di tubuh kita, denyut jantung yang tak pernah berhenti, serta ni`mat-ni`mat yang lainnya yang takkan pernah bisa kita hitung jumlahnya. Itu artinya bahwa Allah SWT tidak pernah melupakan hambaNya meskipun sesaat, akan tetapi hambaNyalah yang selalu melupakan Dia, bahkan sebagian dari hamba Allah itu justru menggunakan ni`mat yang diberikan untuk berbuat maksiat kepadaNya, untuk itu mari kita sadari dan kita renungkan, semoga kita tidak termasuk kedalam golongan tersebut, akan tetapi kita harus menjadi hambaNya bersyukur agar ni`mat itu selalu bertambah bagi kita. Allah SWT berfirman:
“Jika kalian bersyukur terhadap nikmatku niscaya akan aku tambah ni`mat tersebut, tetapi jika kalian kufur sungguh azabKu sangatlah pedih” (Q.S. Ibrahim: 7 )
Shalawat dan salam juga haruslah selalu kita perbanyak untuk Rasulullah SAW yang telah berjuang dan mengorbankan segala-galanya untuk kemaslahatan dan kebahagiaan ummatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Semoga saja kecintaan kita kepada Beliau selalu bertambah dan tak pernah pudar, dan kita berharap semoga ungkapan shalawat yang selalu membasahi lidah kita itu membuat kita menjadi orang yang berhak mendapatkan syafa`atnya di Yaumil Mahsyar nanti. Amin
Ma`asyiral Hadirin wal Hadirat Rahimakumullah
Pada pagi hari yang mulia ini umat Islam di barbagai belahan dunia beramai-ramai melantunkan kata-kata Takbir, Tahmid dan Tahlil sebagai wujud rasa bahagia dalam menyambut hari kemenangan. Mereka semua berbahagia karena sebulan penuh telah berhasil melawan hawa nafsu serta mengisi detik-detik waktunya dengan berbagai macam bentuk kebaikan yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT. Berpuasa di siang hari, shalat di malam hari, memperbanyak tilawah Al-Quran, berdo`a dan beristighfar, berinfaq dan bersedekah, menjalin hubungan silaturrahim, dan lain sebagainya, seraya berharap semua kebaikan tersebut diterima hendaknya oleh Allah SWT dan dapat memperpanjang catatan amalan kebaikan kita yang akan diperlihatkan di akhirat kelak.
Meskipun demikian ada satu hal yang harus diketahui bahwa kebahagiaan yang terpancar di raut wajah hari ini memiliki dua kemungkinan, sebahagian dari mereka ada yang berbahagia karena sedang menyambut kemenangan dirinya sendiri, sementara sebahagian yang lain ada pula yang berbahagia tapi sekedar merayakan kemenangan orang lain. Dalam hal ini kita tidak dianjurkan untuk menilai orang lain, kita hanya dituntut untuk merenungkan diri kita masing-masing apakah kita sekarang benar-benar sedang merayakan kemenangan diri kita sendiri, ataukah sedang berpura-pura bahagia dalam menyambut kemenangan orang lain. Kita semua berharap semoga Allah SWT memberikan kebahagiaan yang sesungguhnya kepada kita bersama, amin.
Orang yang berbahagia sesungguhnya adalah mereka yang telah mendapatkan ampunan dan maghfirah Allah SWT karena telah memanfaatkan detik-detik Ramadhan secara maksimal untuk berbagai bentuk kebaikan yang dilaksanakan atas dasar iman dan penuh harapan. Sesuai dengan sabda Nabi SAW:
“Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan penuh iman dan mengharapkan pahala dan ampunan maka diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
“siapa yang menghidupkan malam ramadhan dengan dasar iman dan mengharapkan pahala dan ampunan maka diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Ma`asyiral muslimin Rahimakumullah
Perbuatan dan amal baik yang sudah menjadi kebiasaan umat Islam untuk dilakukan selama Ramadhan diharapkan mampu membentuk karakter dan tabi`at mereka untuk berbuat hal yang sama setelah Ramadhan berlalu, janganlah pernah menjadikan Ramadhan sebagai topeng dalam kehidupan kita, tapi jadikanlah sebagai wajah asli kita dalam menjalani sebelas bulan kehidupan berikutnya.
Apabila selama Ramadhan kita selalu menyempatkan diri untuk membaca Al-Quran, mendatangi masjid untuk shalat berjama`ah, bangun di sepertiga malam untuk sahur dan tahajjud, berempati terhadap fakir miskin, meneteskan air mata saat bermunajat dan bersimpuh di hadapan Allah SWT, serta berbagai kebaikan lainnya, maka janganlah sampai kebaikan-kebaikan tersebut menjadi wajah indah kita yang bersifat sesaat, akan tetapi jadikanlah ia sebagai perhiasan jiwa yang tetap bertahan dan terlaksana setelah Ramadhan meninggalkan kita. Ketahuilah bahwa Tuhannya Ramadhan adalah Tuhannya Syawwal juga, dan Tuhan sebelas bulan berikutnya.
Oleh karena itu hari raya idul fitri yang dijadikan sebagai agenda terakhir dari seluruh rangkaian ibadah Ramdhan pada hakikatnya bukanlah saat-saat berakhirnya peluang untuk mendulang kebaikan, tapi justru sebaliknya bahwa idul fitri adalah saat awal memulai kehidupan baru dengan hati yang baru dan semangat yang baru pula.
Umar Bin Abdul Aziz berkata:
Hari raya itu bukanlah milik orang yang memakai pakaian baru
Akan tetapi hari raya adalah milik orang yang takut dengan hari pembalasan
Tidahlah hari raya itu buat yang memiliki kendaraan mewah
Akan tetapi hari raya itu buat orang yang dosanya terampuni
"Imam Hasan Al-Bashri berkata: “setiap hari yang di dalamnya tidak ada kedurhakaan kepada Allah SWT maka hari itu adalah hari raya, dan setiap hari di mana seorang mukmin tetap berada dalam ketaatan Rabnya serta berzikir dan bersyukur kepadaNya maka bagi dia hari itu adalah hari raya”.
Inilah hakikat Idul Fitri yang sesungguhnya, kembali kepada kesucian, meraih kemenangan dengan prestasi taqwa serta mempertahankan kesucian dan kemenangan tersebut di masa yang akan datang.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah SWT.
Hari ini kita merayakan hari kemenangan itu, rahim Ramadhan telah melahirkan sosok-sosok dan pribadi muslim yang menang dan sukses, namun kemenangan seperti apakah yang akan diraih oleh umat Islam melalui ibadah Ramadhan?.
Ada tiga bentuk kemenangan bagi umat Islam:
Pertama, Kemenangan Spritual.
Kemenangan spiritual adalah kemenangan jiwa, jiwa yang menang adalah jiwa yang selalu bersih dan suci dari berbagai noda dan penyakit seperti syirik, sombong, hasad dan dengki, dan berbagai penyakit hati lainnya yang diharapkan melalui Ramadhan dapat terkikis habis. Allah SWT berfirman:
“Sungguh telah menang dan beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” (Q.S. Asy-Syams: 9-10)
Jiwa yang menang adalah jiwa yang selalu berupaya untuk membentengi diri dari berbagai bentuk penyimpangan dan penodaan terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, dan itu adalah hakikat taqwa sesungguhnya yang ingin dicapai melalui ibadah puasa. Sesuai dengan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kalian untuk berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, semoga kalian menjadi orang yang bertaqwa” (Q.S. Al-Baqarah: 183).
Taqwa adalah suatu kondisi iman dan semangat spiritual yang harus selalu terpatri dalam jiwa seseorang, agar secara berkesinambungan ia selalu merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dalam setiap gerak langkah aktifitas yang dilakukannya, sehingga dengannya ia termotivasi untuk tetap taat dan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana ia juga akan selalu berusaha untuk menghindari duri-duri di jalan kehidupan. Betapa indahnya perumpamaan yang diberikan oleh Ubay bin ka’ab ketika beliau ditanya oleh Umar bin Khattab tentang hakekat taqwa. Ketika itu Ubay balik bertanya: “wahai Amirul mukminin, apa yang anda lakukan di saat anda melewati jalanan yang penuh duri? Umar manjawab: saya akan meneguhkan pandangan agar langkah kakiku tidak menginjak duri, lalu Ubay berkata: wahai amirulmukminin itulah taqwa.”
Apabila sifat taqwa itu sudah tumbuh subur dalam jiwa seseorang maka ia akan selalu rela dan senang hati untuk menerima dan melaksanakan aturan Allah, apapun konsekwensi yang akan dihadapinya, meskipun akan mengorbankan sesuatu yang paling dia cintai, atas nama cinta kepada Allah dan Rosulnya. Jika itu berhasil ia lakukan maka saat itu ia sedang merayakan puncak kemenangan spritualnya.
Semangat ketaqwaan seperti itulah yang diciptakan oleh ibadah puasa, karena dengan berpuasa seseorang dituntut untuk selalu dalam suasana jiwa yang dekat kepada Allah SWT, sebagaimana ia dituntut untuk menghargai waktu agar bisa meraih sekecil apapun peluang ibadah, serta menghindari sekecil apapun peluang dosa yang akan bisa mengurangi atau merusak nilai-nilai puasa. Bahkan dari yang mubah sekalipun jika tidak mendatangkan manfaat apa apa. Oleh Karena itulah Rosulullah membahasakan bahwa “puasa adalah sebagai perisai.”
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah SWT
Ada satu karakter jiwa yang ingin dibina oleh Ramadhan yaitu, jujur atau amanah. Ibadah puasa adalah ujian bagi kejujuran kita, tidak ada yang mengetahui kepastian orang yang berpuasa selain daripada Allah SWT, berbeda dengan ibadah yang lain seperti shalat, haji, zakat dan lain sebagainya.
Kejujuran adalah satu kekuatan yang terdapat dalam jiwa yang membuat pemiliknya mampu melakukan tugas-tugas besar yang diembankan kepadanya. Dengan kejujuran berbagai persoalan dalam hidup dapat diselesaikan, sebaliknya tanpa kejujuran berbagai problematika kehidupan akan selalu bermunculan. Oleh karena itu menghiasi diri dengan sifat jujur adalah satu tuntutan yang dibebankan kepada seluruh elemen masyarakat; pemimpin, pejabat, hakim, politikus, pengusaha, wartawan, kaum akademisi, rakyat dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara jangan sampai terjadi krisis kejujuran karena hanya akan melahirkan kehancuran demi kehancuran. Itulah fakta dan kenyataan; korupsi merajalela, keserakahan pejabat terjadi di mana-mana, pengangguran susah diatasi, kesenjangan social dan penindasan rakyat kecil sudah menjadi pajangan kasat mata, ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga, dan lain sebagainya, itu semua berawal dari ketidakjujuran dan ketidakadilan. Maka apabila pemimpin sudah mampu untuk jujur terhadap rakyatnya, para pejabat jujur dalam mengemban amanah jabatannya, para hakim jujur dalam menyelesaikan perkara persidangannya, para suami jujur dalam memimpin keluarganya, serta semua kita mampu untuk jujur terhadap diri kita sendiri, jujur kepada Allah dan jujur kepada masyarakat maka yakinlah kedamaian hidup pasti akan dirasakan, persoalan demi persoalan akan semakin dapat disingkirkan dari jalan peradaban, dengan demikian kita dapat menghiasi dinding-dinding harapan dengan penuh optimis dalam menatap masa depan diri dan bangsa.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah
Kedua: Kemenangan Emosional
Ibadah Ramadhan akan membimbing umat Islam menuju kemenangan emosional. Emosi adalah sifat perilaku dan kondisi perasaan yang terdapat dalam diri seseorang. Ia bisa berupa rasa ingin marah, rasa takut, rasa cinta atau keinginan yang kuat untuk mencintai dan membenci, rasa cemas, rasa minder dan lain sebagainya. Emosi yang menang adalah apabila ia terkendali, yang dalam istilah agama disebut dengan sabar. Jika kita perhatikan teori tentang kecerdasan emosi yang dijelaskan oleh para ahli fsikologi, ternyata konsep kecerdasan emosi ini berbanding sama dengan konsep kesabaran dalam Islam. Sabar dalam Islam bukanlah satu kelemahan, tetapi sabar justru merupakan satu kekuatan. Di dalam Al-Quran dijelaskan bahwa satu orang yang sabar mampu mengalahkan sepuluh lawan dalam pertempuran, atau setidaknya mereka mampu menghadapi lawan sebanyak dua kali jumlah mereka (QS 8: 65-66). Ketika seorang bersabar dan dapat menahan amarahnya dalam menghadapi satu perkara yang ia hadapi maka dia bukanlah orang yeng lemah, akan tetapi justru dia adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Dalam sebuah ungkapannya Rasulullah SAW bersabda: “orang yang kuat bukanlah orang yang selalu menang dalam berkelahi, akan tetapi orang kuat adalah orang yang dapat menahan diri saat dia marah” (H.R Imam Al-Bukhari).
Kesabaran merupakan karakter yang sangat mulia dan ia bisa diraih dengan cara melatih dan membiasakan diri dengannya. Maka bulan Ramadhan merupakan kesempatan yang besar bagi seorang Muslim untuk melatih kesabaran itu. Ia dilatih untuk mengontrol jiwanya dari pengaruh hawa nafsunya. Dengan begitu ia bisa keluar dari bulan Ramadhan sebagai pribadi yang kuat dan pandai mengendalikan diri dan emosinya.
Keterkaitan antara puasa dengan membangun kecerdasan emosional begitu terlihat dalam penjelasan Rasulullah SAW yang mengatakan: “apabila seseorang sedang berpuasa lalu ada yang menghina dia atau mengajaknya untuk berkelahi maka hendaklah ia mengatakan: saya sedang berpuasa, saya sedang berpuasa” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Dengan arti kata kondisi seseorang yang sedang berpuasa akan dapat menahan emosinya agar tidak membalas cacian dan dendam dengan perbuatan yang sama.
Ibadah puasa akan selalu membimbing umat Islam untuk dapat mengendalikan jiwa dan nafsunya dengan cara zikir dan syukur kepada Allah SWT. Jika seseorang sudah mampu untuk selalu berzikir dan bersyukur, apalagi jika hal itu sudah menjadi bagian yang tak terpisah dari diri dan kehidupannya, maka itu adalah indikasi dari emosional yang terkendali, sehingga dengannya ia akan selalu menghadapi berbagai persoalan hidup dengan tenang dan percaya diri, dan itu adalah puncak kemenangan emosional. Bandingkan dengan seseorang yang selalu lupa kepada Allah serta tidak mau bersyukur terhadap karunia yang didapatkannya dari Allah, maka ia akan selalu dihimpit oleh berbagai problem kehidupan, khususnya problem kejiwaan yang tak jarang mereka selesaikan dengan cara mereka sendiri. Ada yang dengan cara bunuh diri, ada lagi dengan cara menelan obat2 atau pil yang mereka anggap akan mampu menenangkan jiwa mereka, dan lain sebagainya. Maka ibadah puasa akan selalu berusaha untuk menutup rapat rapat pintu yang akan membawa seseorang menuju kekacauan emosional dengan cara zikir dan syukur tersebut.
Satu lagi pelajaran penting yang dapat ditarik bahwa ibadah puasa akan menghapus sekat-sekat pemisah antara yang kaya dengan yang miskin, semua mereka sama di hadapan Allah SWT, apa yang dirasakan oleh orang-orang miskin selama ini itu jugalah yang dapat dirasakan oleh yang kaya saat ia berpuasa, maka puasa akan membangun jembatan untuk menyatukan perasaan antar sesama umat Islam tanpa memandang status social untuk saling mencintai, saling membantu, dan saling berbagi. Mungkin Ini jugalah salah satu dari rahasianya kenapa zakat fitrah itu diwajibkan kepada semua orang, yang miskin sekalipun. Supaya semua kita, dan juga mereka yang biasa meminta-minta, pernah merasakan nikmatnya memberi, minimal sekali dalam setahun. Inilah salah satu bentuk didikan emosional yang kita dapatkan dari ibadah puasa.
Kaum Muslimin yang dirahmati Allah SWT
Ketiga: Kemenangan Intelektual
Ibadah Ramadhan juga akan melahirkan sosok-sosok pribadi muslim yang menang secara intelektual. Kemenangan intelektual ditandai dengan kecerdasannya dalam memahami realita yang selalu dapat memberikan keseimbangan pada diri dan pemikiran.
Namun ada satu hal yang harus kita pahami bahwa terminologi kecerdasan intelektual dalam Islam tidak berbanding sama dengan teori kecerdasan yang dipahami oleh banyak orang. Selama ini banyak orang yang mengukur kecerdasan lewat pencapaian- pencapaian angka dalam batas tertentu. Sehingga sorang anak dikatakan cerdas apabila nilai rata-ratanya di sekolah Sembilan atau sepuluh. Seorang mahasiswa dianggap cerdas ketika ia sudah mampu menghapal banyak diktat perkuliahannya lalu menghasil nilai IPK tertinggi, begitu seterusnya. Sementara di dalam Islam kesuksesan dan kecerdasan diukur secara proporsional antara kwalitas dan kwantitas. Kecerdasan ada pada mereka yang menempatkan ilmu di hati bukan sekedar di lidah dan retorika saat berdiskusi tapi tidak disertai dengan aksi. Rasulullah SAW bersabda:
"Orang yang berakal (cerdas secara intelektual) adalah orang memperbudak dirinya sendiri dan selalu berbuat untuk kepentingan akhirat" (H.R. At-Tirmizi)
Dengan demikian seoarang anak dianggap cerdas bukan semata-mata karena ia telah meraih angka 9 atau 10, akan tetapi diukur sejauhmana pelajaran –pelajaran itu berpengaruh positif dalam kehidupannya. Seorang dianggap cerdas bukan sekedar sudah mengetahui bahwa 1 kg itu sama dengan 10 ons, akan tetapi dianggap cerdas ketika pengetahuan itu diterapkannya di saat ia menjadi seorang pedagang. Sistem pendidikan seperti inilah yang diterapkan oleh Rosulullah SAW dalam mendidik para sahabatnya, sehingga beliau memutuskan untuk mengirim Mush’ab bin ‘Umair menjadi duta dakwah ke Madinah, padahal Mush’ab ketika itu bukanlah orang yang paling banyak hapalan alqurannya.
Kecerdasan intelektual dalam perspektif Islam ditandai dengan apabila :
- Selalu bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram
- Selalu mempertimbangkan antara manfaat dan mudhorat
- Selalu mengerti akan hak dan kewaiban.
Kecerdasan seperti inilah yang selalu ingin dibina oleh ibadah puasa pada setiap peribadi muslim. Karenanya puasa selalu menuntut kita untuk selalu hati-hati dalam bertindak, bersikap dan berucap, agar tidak menodai nilai-nilai puasa yang sedang dikerjakan. Kalau tidak bisa maka seseorang tidak akan mendapatkan apa- apa dari puasanya selain menahan lapar dan haus saja.
Inilah tiga kemenangan besar yang diharapkan dapat diraih secara nyata dalam setiap pribadi muslim melalui pelaksanaan ibadah puasa. Sebagai seorang muslim yang setiap tahun melaksanakan ibadah ramadhan harus selalu menginstropeksi dirinya di setiap penghujung hari ramadhan, agar ia tahu apakah ia hari ini benar-benar berbahagia untuk dirinya, atau untuk orang lain. Intropeksi itu menjadi penting untuk dilakukan agar Ramadhan tidak sebatas rutinitas tahunan.
Demikianlah khutbah ini disampaikan, semoga bermanfaat.
KHUTBAH KEDUA
Ma`asyiral Muslimin Rahimakumullah
Di akhir khutbah ini khatib ingin mengajak kita bersama untuk mempertahankan kemenangan yang sudah dicapai selama Ramadhan, ibarat sebuah bangunan ia bagaikan sebuah istana megah yang mengagumkan maka janganlah diruntuhkan kembali, ibarat sebuah tenunan ia sudah menjadi pakaian yang sangat indah dipandang mata maka janganlah diurai kembali benang yang sudah ditenun itu ketika Ramadhan berlalu meninggalkan kita. Inilah makna dari ayat yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 92 di atas: “ janganlah kalian seperti seorang perempuan yang menenun pakaian di pagi hari lalu sorenya diurai kembali” betapa sia sianya, betapa ruginya bahkan betapa celakanya kalau itu yang dilakukan.
Akhirnya marilah kita sambut hari kemenangan ini sebagai sandaran untuk memulai kehidupan baru dengan hati dan semangat yang baru, maafkanlah segala kesalahan lupakan segala kekhilafan agar semua kita mendapatkan ridha dan maghfirah dari Allah SWT, semoga kita semua diizinkan kembali untuk menikmati indahnya Ramdhan pada masa yang akan datang. Amin ya rabbal `alamin.
Foto Mesjid Raya Annur Pekanbaru : @RiauDaily
CURRICULUM VITAE
Nama : Dr. H.Helmi Basri, Lc. M.A
TTL : Pl Payung Rumbio, 04-07-1974
Alamat : jl Garuda Sakti KM 3, kel Simpang Baru, kec Tampan, Pekanbaru,
Pekerjaan :
Wakil Dekan II bidang Adm. Dan Keuangan Fak. Psikologi UIN Suska Riau
Dosen Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN SUSKA Riau
Dosen Pasca Sarjana UIN SUSKA Riau
Pendidikan :
- Sekolah Dasar, SD 027 Rumbio- 1987
- SLTP, PP Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang- 1991
- SLTA, PP Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang- 1994
- Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab, Universitas Muhammad bin su’ud Riyadh cabang Jakarta (I’dad lughowy)- 1996
- Islamic University of Medinah, Fak Syari’ah (S1)- 2000
- Hassan II University Maroko, Fak Adab dan Humaniora (S2)- 2002
- Maolaya Ismail University Meknes, Maroko, Fak Adab dan Humaniora (S3)- 2012.
Organisasi :
- Ikatan Ulama dan Da`i Asia Tenggara (anggota)
- Majlis Ulama Indonesia Prov. Riau (anggota komisi Fatwa)
Karya Ilmiah :
- Menjadi guru professional, meneladani metode pengajaran Rosulullah SAW, (terj). ( 2006).
- FIQIH IBADAH; Panduan Ibadah seorang Muslim (2010)
- Fiqih Muamalah (2011)
- Panduan Zikir dan Do`a (2012)
- FIQIH TARBAWI; Menggali Nilai-Nilai Edukasi dari Hukum Fiqih (2013)
Penelitian :
- Problematika Integrasi Ilmu dalam Pendidikan dan Pengajaran; studi perbandingan antara metode pengajaran di Ummul Qura university Arab Saudi dengan UIN Suska Riau Indonesia. (2013)
- Problematika Kontemporer Dalam Memahami Hadits Nabi SAW (2012)
- FENOMENA I`JAZ ILMI DALAM HADITS NABI SAW; Menelusuri Relevansi Antara Hadits dan Sains Modern (2014)
- Teori “Maalaatul Af`aal” dalam Maqasid Syari`ah dan aplikasinya pada Problematika Kontemporer (2017)