Saat asap berkecamuk, Riau menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju ke Negeri Melayu ini. Mulai dari pemerintah pusat hingga dua negara jiran, Malaysia dan Singapura. Oh bukan, tapi negara-negara ASEAN juga turut peduli pada Riau meski mereka menyebutnya Sumatera. Kepopuleran itu karena banyak titik api akibat pembakaran lahan telah mengepulkan asap tebal dari tanah bergambut Riau saat itu. Kemudian asap itu dibagi-bagi secara acak berkat arah angin. Tapi abaikan saja karena semua orang telah membicarakannya.
Mari kita fokus pada upaya penanggulangannya saja. Satu-satunya cara “mudah” dan nyata untuk memadamkan sumber asap dari Riau ini. Upaya tersebut adalah menciptakan hujan buatan. Namun ternyata membuat hujan buatan tidak semudah kedengarannya loh. Bahkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) ini bisa saja gagal sementara telah memakan dana yang sangat besar.
Pertama-tama untuk menghasilkan hujan buatan kita membutuhkan garam (NaCl). Karena itulah 10 ton garam dikirim ke Riau dengan menggunakan pesawat Herculas TNI AU. Kemudian 5 ton garam lagi direncanakan datang menyusul.
Garam adalah senyawa kimia yang bersifat higroskopik (menyerap air). Puluhan ton garam tersebut kemudian ditebarkan di udara dengan ketinggian 4000-7000 kaki di atas wilayah dengan titik-titik api terbanyak. Menurut pantauan satelit NOAA18, di Riau wilayah tersebut melingkupi hampir seluruh kabupaten.
Namun sebelum menebarkan garam terlebih dahulu kita harus memperhatikan awan yang dapat menghasilkan hujan. Awan yang bisa di gunakan untuk membuat hujan adalah jenis awan Cumulus (Cu). Awan ini berbentuk seperti bunga kol. Setelah lokasinya diketahui, barulah kemudian pesawat terbang yang membawa garam untuk menurunkan hujan diterbangkan menuju awan.
Untuk bisa membentuk hujan deras, biasanya dibutuhkan garam sebanyak 3 ton yang disemai ke awan Cumulus selama 30 hari. Namun karena teknologi yang semakin maju, waktu tersebut bisa dipersingkat hingga satu hari saja. Setelah penyemaian awan, hujan buatan tidak langsung turun begitu saja. Faktor angin juga menjadi penentu di sini. Sehingga tidak heran jika hujan buatan bisa saja turun di tempat yang jauh dari lokasi penyemaian.
Selain faktor angin proses membuat hujan buatan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti kelembaban, tekanan udara dan waktu. Waktu penebaran garam harus dilakukan di pagi hari, sekitar pukul 7.30 WIB dengan penghitungan waktu terjadinya penguapan. Setelah memperhatikan kesemua faktor tersebut, maka hujan buatan “mungkin” bisa turun dengan sukses.
Oh ya, garam yang digunakan bukanlah garam dapur seperti yang biasa kita gunakan untuk makanan atau garam meja. Namun garam yang dimaksud adalah garam yang mempunyai sifat higroskopis yang jauh lebih besar daripada garam meja, itu berarti garam meja tak dapat digunakan untuk membuat hujan.
Hujan buatan bisa dibuat dan terjadi kapan saja tanpa harus menunggu langit mendung. Sehingga sangat potensial dalam upaya pemadaman titik api untuk meredam bencana asap yang terjadi di Riau. Dan tidak perlu khawatir, meskipun menggunakan garam bukan berarti hujan buatan bersifat asin atau asam. Air hujan buatan tidak jauh berbeda dengan hujan asli kok. Semoga saja dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah yang memakan dana miliaran rupiah tersebut bencana asap di Riau dapat hilang dengan segera. Amin.***