Cerita Rakyat Melayu Riau Kisah si Lancang dari Negeri Kampar |
Kisah si Lancang dari Negeri Kampar
Sebuah Cerita Rakyat Melayu yang berawal di sebuah kampung dari Negeri Kampar. Di sana hiduplah seorang janda tua dan anak laki-lakinya. Mereka hidup memprihatinkan. Sebuah gubuk reot menjadi tempa tinggal mereka. Baju yang mereka pakai sudah ditambal sana-sini. Pagi makan, siang puasa, makan malam tak jarang hanya angan semata. Meskipun hidup dalam kondisi serba tidak ada, janda tua tersebut sangat rajin bekerja. Ia menjadi buruh tani di ladang dan di sawah para tetangganya. Anak lelaki satu-satunya pun rajin membantu. Ia membantu emaknya dengan menjadi anak gembala itik, kerbau dan sapi milik warga desa yang membutuhkan jasanya.
Suatu hari, usai makan malam, anak lelaki yang ternyata bernama Lancang itu meminta izin kepada emaknya untuk merantau. “Mak, Lancang sekarang sudah besar,” katanya. “Lancang ingin meminta izin kepada emak untuk merantau. Lancang ingin mencari pengalaman dan ilmu yang bermanfaat di negeri orang. Siapa tahu dengan begitu anak emak ini bisa merubah nasib keluarga,” ucapnya meminta izin dengan hati-hati ke emaknya.
“Tak kah kau kasihan kepada mak, Lancang? Emak akan tinggal sendirian, siapa yang akan menjaga mak nantinya?” emak si Lancang berusaha untuk mencegah anaknya pergi.
“Lancang berjanji pada emak, jika nanti sudah berjaya di negeri orang, lancang akan menjemput emak. Kita tinggal bersama, Lancang ingin emak bahagia,” cita-cita anak lelaki si janda tua begitu mulia.
Tak kuasa menahan hasrat anaknya untuk merantau, emak si Lancang pun mengizinkannya pergi. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan bekal sekedarnya si Lancang berangkat dari kampungnya menuju negeri seberang. Merantau.
Hari berbilang hari, bulan pun silih berganti, bertahun sudah si Lancang di rantau orang. Ia telah menjadi seorang saudagar yang jeli melihat pasar. Beragam ilmu perdagangan telah dikuasainya dengan baik. Kini ia telah kaya raya. Anak buahnya beratus-ratus orang. Ia juga punya keluarga dengan istri yang cantik-cantik. Istri-istrinya pun berasal dari kalangan bangsawan dan orang berada. Namun, berbanding terbalik dengan kondisi emaknya di kampung. Emak si Lancang masih saja seperti dulu. Miskin dan papa.
“Abang rindu untuk berlayar ke Andalas. Maukah kalian ikut serta dengan abang? Kita berlayar, berleha-leha,” ucap si Lancang pada istri-istrinya suatu hari.
Istri-istrinya mengangguk setuju, bahan bersorak gembira.
“Wah, baik sekali abang kita ini. Kalau begitu, kami mohon disediakan makanan yang enak-enak dan pakaian sutera yang indah. Tentu saja semua itu demi kenyamanan kita di kapal nantinya,” minta salah seorang istrinya.
“Iya abang, jangan lupa di bawa para pemain musik, untuk obat lelah dan melepas suntuk di atas kapal,” timpal istrinya yang lain.
Lancang mengambulkan segala permintaan istri-istrinya tersebut. Ia pun memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan kapal termewahnya. Lengkap dengan segala perihal yang telah diminta oleh istri-istrinya. Tak lama berselang, merekapun berlayar.
Setiap hari sepanjang perlayaran, si Lancang dan seluruh isi kapal berpesta pora, mereka bersenang-senang. Hingga akhirnya nakhoda kapal mengumumkan bahwa mereka telah merapat di pinggir Sungai Kampar.
Kedatangan kapal si Lancang di pinggir Sungai Kampar tentu saja menarik perhatian penduduk. Mereka memuji-muji dan penasaran, siapakah pemilik kepala mewah tersebut.
“Wah, itu kan si Lancang!” teriak seorang penduduk yang ternyata mengenali si pemilik kapal. “Alhamdulillah, dia masih ingat dengan Negeri Kampar ini walaupun sudah kaya raya,” ucap orang itu yang ternyata adalah teman bermain si Lancang ketika kecil. Ia pun berlari ke kampungdan mengabarkan kepada emak si Lancang bahwa anaknya sudah pulang, dan kapalnya merapat di pinggir Sungai Kampar.
Emak si Lancang yang sedang berbaring sakit, serta merta bangkit demi mendengar kabar tersebut. “Anakku sudah pulang? Benarkah itu? oh Tuhan, Engkau telah mengambulkan doa-doaku,” ucap Emak si Lancang lirih. Ia pun bergegas mengenakan pakaian terbaiknya, itupun masih saja compang camping penuh tambalan. Dengan senyum sumringah, emak si Lancang berjalan tertatih menuju ke pelabuhan. Tempat kapal si Lancang merapat.
Alangkah terkejutnya emak si Lancang melihat kemegahan kapal anaknya. Rasa rindu yang membuncah membuatnya tak sabar untuk bertemu anak semata wayangnya itu. Berlahan ia menapakkan kakinya di tangga kapal. Namun apa yang terjadi. Anak buah si Lancang malah meneriaki janda tua itu.
“Hei, orang tua, dilarang masuk ke kapal ini, pergilah sebelum saya mengusirmu!” teriak awak kapal dengan sangar.
“Ini kapal anak saya, Lancang. Saya adalah ibunya!”
“Hahaha... semua orang mengaku sebagai ibu, tuan kami!” anak buah kapal mewah itu tidak percaya dengan ucapan Ibu si Lancang.
Melihat ada ribut-ribut di kapalnya, si Lancang pun keluar bersama istri-istrinya. “Ada masalah apa?” Ia bertanya pada anak buahnya.
“Oh, Lancang anakku, Engkau sudah pulang, nak? Ibu rindu padamu. Ini ibumu nak!” Ibu si Lancang menjerit bahagia melihat anaknya.
“Hei, siapa kau orang tua jelek? Kamu bukan ibuku!” sangkal si Lancang pada ibunya. “Penjaga, usir wanita tua pembohong ini dari kapalku,” perintah si Lancang pada anak buahnya. Rupanya si Lancang sangat malu dengan keberadaan ibunya. Ia malu kepada istri-istrinya karena tidak berasal dari kalangan bangsawan.
“Lancang ini ibumu, nak! Bukan kah dulu kau berjanji akan menjemput ibu setelah kau berhasil di rantau orang?” ucap ibu si Lancang sesegukan karena tidak diakui oleh anaknya.
Tanpa menggubris ibunya, si Lacang pun masuk kembali ke kapal. Ia tidak melihat betapa kasar anak buahnya mengusir ibu tua yang malang itu. Ia diseret keluar kapal hingga tersungkur dan terjerembab di tanah.
Sedih dan terluka hati sang ibu tak terperikan lagi. Dengan berurai air mata ia kembali ke gubuk reotnya. Di sana ia mengambil lesung dan nyiru pusaka. Ia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berucap, “Ya Tuhanku, Engkau telah melihat sendiri, anakku mengabaikan aku. Anak yang telah aku lahirkan. Aku besarkan dengan air susuku. Sekarang setelah kaya raya dia tidak mengakui aku sebagai ibunya. Ya Tuhan, tunjukkanlah kekuasaan-Mu.”
Hanya sekejap setelah sang ibu mengucapkan hal itu, tiba-tiba cuaca berubah mendung. Petir sambar menyambar, hujan turun dengan lebat. Air Sungai Kampar yang tadinya tenang berubah menjadi ganas, bergelombang besar dan menghantam kapal si Lancang hingga porak poranda, menghancurkan segala isinya. Si Lancang yang terlambat menyadari kedurhakaannya berteriak-teriak memanggil ibu. “Emak.... maafkan aku, Lacang sudah pulang mak!” namun teriakkan itu sia-sia belaka. Semuanya telah terlambat. Kapal si Lancang dengan segala isinya berhamburan diterjang badai.
Kain sutera permintaan istri-istri si Lancang melayang-layang, dan jatuh berlipat-lipat di tanah. Sekarang tempat jatuhnya itu disebut dengan Daerah Lipat Kain, yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong yang digunakan untuk peralatan bermain musik terjatuh ke sebuah sungai. Sungai tersebut kemudian dinamakan dengan Sungai Ogong, terletak di Air Tiris, Kampar Kanan. Dan, sebuah tembikar tempat makanan si Lancang, jatuh tidak jauh dari pinggir sungai yang kemudian menjadi Pasubilah. Sementara tempat kapal si Lancang berlabuh di pinggir Sungai Kampar sekarang telah menjadi sebuah danau, yang dinamakan dengan nama Danau si Lancang. Di lokasi ini terdapat sisa tiang bendera kapal si Lancang. Jika tiang bendera tersebut muncul ke permukaan danau maka itu bertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir tersebut adalah airmata penyesalan si Lancang.
Semua wilayah-wilayah tersebut dapat ditemukan dikunjungi hingga saat ini di daerah Kampar, Riau.
(Digubah dari Cerita Rakyat Melayu Riau)
Silahkan baca cerita rakyat melayu riau lainnya yang patut diambil pelajarannya.
Cerita Rakyat Melayu Riau: Pak Ande Bertemu Gergasi
Cerita rakyat Nusantara