Cuaca hangat di siang hari yang dirasakan penduduk bumi beberapa bulan terakhir di tahun 2016 mengindikasikan iklim bumi yang memasuki titik krisis. Para ahli memperingatkan bahwa saat ini bumi telah memasuki kondisi kritis kenaikan suhu.
Bulan Februari 2016 menjadi bulan Februari terpanas sepanjang sejarah di bumi, sekaligus menjadi bulan kenaikan angka suhu bumi secara signifikan. Rata-rata suhu permukaan global pada Februari tahun ini 1,35 derajat Celcius lebih hangat dari pada tahun-tahun sebelumnya yang diukur sejak 1950 sampai 1980. Rekor sebelumnya 1,14 derajat Celcius yang terjadi pada 1951 hingga 1980.
Menurut ahli meteorologi Bob Henson dan Jeff Master pendiri Weather Underground, sebuah situs meteorologi populer, laporan NASA itu menunjukkan bumi telah melampaui titik kritis. "Februari 2016 melonjak melewati semua bangian sebagai bulan Februari terhangat dalam pencatatan global selama satu abad,"seperti yang dilansir dari Sputniknews, Selasa (15/3).
Stefan Rahmstorf dari Jerman Postdam Institute, lembaga riset dampak perubahan iklim, menjelaskan perkembangan ini dengan terminologi bencana.
"Kita dalam keadaan iklim darurat sekarang. Angka-angka ini menunjukkan sesuatu yang baru dan belum pernah kita lihat sebelumnya," katanya.
Umumnya, para ilmuwan berhati-hati menyoroti lonjakan suhu pada satu atau dua bulan saja, terutama pada saat iklim El-Nino. Namun, data laporan ini begitu luar biasa.
Para ilmuwan percaya ini menjadi peringatan serius bagi seluruh penduduk bumi. Laporan suhu pada Februari tahun ini bahkan melebihi super El-Nino pada 1998 yang naik sebesar 0,47 derajat Celcius.
Sebuah penemuan terbaru menyatakan emisi karbon saat ini begitu tinggi, hingga mencapai level yang sama seperti 66 juta tahun yang lalu. Suhu global ketika dinasourus punah. Dan masih ada kemungkinan untuk naik walaupun lebih lambat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Dengan bukti geologi saat ini dan masa lalu para peneliti membandingkan tingkat CO2. Mereka menggunakan inti sedimen yang dikumpulkan dari pantai New Jersey, untuk mengevaluasi kembali catatan isotop karbon-13 dan oksigen-18 yang menunjukan konsentrasi karbon di atmosfir dan temparatur global.
Pemanasan global yang terjadi tidak hanya berpengaruh pada kondisi suhu, akan tetapi juga memberikan dampak yang signifikan pada penerbangan. Hal ini telah dibuktikan dengan studi yang dilakukan oleh ilmuwan atmosfer dari University of Reading, Inggris.
Para peneliti mengatakan, pemanasan global memungkinkan untuk mempercepat angin aliran jet. Aliran ini dapat menambahkan ribuan jam dalam setahun untuk perjalanan dan meningkatkan biaya bahan bakar dan karbondioksida (CO2).
Simulasi yang dilakukan menghasilkan, penerbangan dari London menuju New York akan menjadi dua kali lebih lama menjadi tujuh jam. Sedangkan untuk penerbangan balik, dari New York menuju London justru lebih cepat dua jam, dengan perkiraan waktu l5 jam 20 menit.
"Kabar buruk bagi penumpang adalah bahwa penerbangan ke arah barat akan berjuang melawan angin haluan yang kuat," kata pemimpin studi Paul Williams, seorang ilmuwan atmosfer dari University of Reading dikutip dari Independent, Senin (15/2).
Sedangkan arah sebaliknya, menurut Williams, penerbangan menuju ke timur akan didorong oleh angin buritan yang kuat, meski tidak cukup mengimbangi perjalanan arah ke Barat. Sehingga, menurut penilaiannya, perjalanan pulang pergi secara siginifikan akan lebih panjang.
Eropa meluncurkan satelit yang akan membantu memprediksi fenomena cuaca seperti El Nino dan melacak perkembangan pemanasan global. Peluncuran satelit ini merupakan bagian dari proyek pengamatan miliaran euro, Copernicus Earth.
Satelit Sentinel-3A diluncurkan di papan peluncur roket dari kosmodrom Plesetsk di barat laut wilayah Arkhangelsk, Rusia pada Selasa (16/2), pukul 17.57 GMT.
Satelit ini menuju ke orbit 815 kilometer di atas bumi, tempat ia akan mengumpulkan data tentang suhu dan ketinggian permukaan laut.
Peluncuran satelit ini dilakukan untuk membantu prakiraan cuaca dan memperkirakan dampak kenaikan suhu.
"Kita sering berbicara tentang pemanasan global, kita sering fokus pada kenaikan suhu udara, tapi 90 persen energi yang masuk ke planet berakhir di laut," kata Direktur Program Observasi Bumi European Space Agency's (ESA), Volker Liebig, dilansir dari Reuters, Kamis (18/2).