Pembacaan ayat Al Quran dengan menggunakan langgam Jawa dibacakan pada peringatan acara Isra’ Mi’raj yang ditayangkan stasiun televise pemerintah (16/5). Rupanya hal ini mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Slamet Effendy Yusuf mengungkapkan tidak ada masalah pembacaan ayat Alquran dengan menggunakan langgam daerah. Sebab, taghonni (Lagu) dalam membaca Alquran memang sejak lama sudah bermacam-macam.
Taghanni dari daerah atau pun dari Timur Tengah menurutnya tidak ada bedanya. Itu selama tidak merusak tajwid, makhrajil huruf serta standar bacaannya yang mengacu pada Bahasa Arab.
“Sejak dulu kala di masjid-masjid dan langgar-langgar di daerah-daerah, itu kan sudah terbiasa kita mendengar model bacaan yang semacam itu. Di sunda banyak juga kiyai-kiyai tradisional yang membaca Alquran dengan Langgam Sunda, begitu pun di Jawa,” kata dia kepada ROL, Ahad (17/5).
Hal berbeda diungkapkan Wakil Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnaen mengatakan, dalam hadis shohih, Rasulullah pernah mengatakan pada akhir zaman akan muncul orang-orang pembaca Alquran yang mendayu-dayu seperti tiupan seruling.
"Dan mereka (yang membaca Alquran langgam Jawa dan mendayu-dayu) akan dilaknat," jelas Tengku pada ROL, Ahad (17/5). Hal ini, kata dia, telah dikatakan nabi dan rasul.
Ia menerangkan Rasul juga pernah bersabda dalam hadits Ahmad yang sohih. Dalam hadits tersebut, Rasul mengkhawatirkan enam hal yang akan terjadi pada umatnya, salah satunya adalah menjadikan Alquran seperti nyanyian.
"Nanti ada baca Alquran langgam jawa, dangdut, seriosa, bugis, melayu, india, dan lainnya. Astaghfirullah," ucap Tengku.
Menurutnya, hal ini cukup ganjil. Dia menilai semua orang yang berakal waras seharusnya tahu jika bahasa itu mesti sempurna saat memakai dialek dan intonasi.
"Apalagi ini, wahyu ilahi," tegasnya.
Langgam Jawa ketika membaca Alquran, lanjutnya, akan merusak fashihnya Alquran. Hal ini karena saat membaca Alquran membaba Alquran dengan langgam Jawa, pembacanya pasti harus mempertahankan totok-medok bahasa Jawa.
"Demi menjaga kelok dan langgamnya, maka panjang dan pendeknya jadi berantakan. Demi menjaga langgam dan "ruh" Jawanya yang mesti totok-medok Jawanya, jadi rusaklah fashohnya," tutur Tengku.