Sibuk mendukung calon presiden pilihan masing-masing, alih-alih perpecahan mulai muncul di media social. Jelang pemilu presiden 9 Juli 2014 mendatang, ajang kampanye ternyata mendorong tak sedikit orang mencabut perkawanannya dengan beberapa teman di media sosial. Beberapa merasa terganggu dengan pandangan politik kawannya yang bertentangan.
Sementara yang lain tak nyaman karena lini masanya dipenuhi hiruk-pikuk kampanye. Hal ini ditemukan Prapancha Research (PR) dari hasil pantauan terbarunya di jejaring sosial.
"Kami tidak memperoleh jumlah pasti unfriend. Namun ada peningkatan perbincangan tentang unfriend yang signifikan jelang pemilu ini," kata Peneliti PR, Adi Ahdiat, di kampus UI Depok.
Peningkatan perbincangan ini, lanjutnya, diasumsikan menunjukkan adanya peningkatan jumlah pencabutan perkawanan. Dari pantauan antara 4 Juni-4 Juli 2014, PR menemukan perbincangan unfriend, unfollow, block, dan unshare seputar pemilu meningkat sampai sekitar 3.513 di Twitter dari yang sebelum pilpres tidak ada sama sekali.
Salah satunya adalah dari akun @imasnuriah. "Wadooow kacau baca twit pada saling hina gegara pemilu. Wajib unfollow yang bahasanya kasar." Tren yang juga berkembang adalah unfollow atau unfriend sementara. Setelah pemilu, akun-akun berkenaan menyampaikan akan berkawan lagi dengan akun yang mereka blokir. "Udah deket mau pemilu makin banyak aja yang kampanye hitam. Unfollow dulu aja deh ya, nanti abis pemilu baru di follow lagi," ungkap akun @hadi_siders.
Hal ini juga menunjukkan bahwa kampanye di media sosial yang serampangan malah berpotensi kontraproduktif terhadap citra kandidat bersangkutan. "Kita sering dengar kandidat yang bisa kuasai suara di media sosial akan kuasai suara riil. Tapi pandangan ini keliru. Sia-sia saja kalau lini masa orang-orang malah dijejali dengan kampanye serba melebih-lebihkan atau fitnah tak berdasar yang menimbulkan antipati," imbuhnya.
Adi menambahkan bahwa dengan perbedaan suara yang tipis serta swing voter yang tak sedikit, jauh lebih penting bagi masing-masing kandidat untuk meraih suara konstituen yang masih terombang-ambing alih-alih yang sudah punya kecenderungan kuat memilih kandidat tertentu.
Penguasaan perbincangan di media sosial tak hanya mensyaratkan kuantitas namun juga kualitas.
Pada saat tim bisa mengirimkan profil sang capres tanpa menjejali publik dengan informasi-informasi yang tak mereka butuhkan, informasi tersebut akan lebih efektif mempengaruhi preferensi publik. Penerimaan akan berlangsung sebelum disadari.
"Ke depan, saya berharap agar politik semakin cerdas dalam berkomunikasi dengan para konstituennya," ujarnya.