Cerita Rakyat Melayu Batang Tuaka
Batang Tuaka merupakan salah satu cerita rakyat yang cukup terkenal di daerah Indragiri. Batang Tuaka merupakan nama sebuah sungai (batang) yang konon menurut cerita rakyat setempat berasal dari tangisan seorang anak durhaka yang memohon ampun kepada ibunya. Cerita Rakyat Melayu yang berjudul “Batang Tuaka” ditulis oleh Yulia S. Setiawati dan Daryatun yang telah diterbitkan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasama dengan Adicita Karya Nusa, cetakan pertama bulan April tahun 2005. Untuk lebih jelasnya, berikut ini ringkasan dari cerita rakyat asal Indragiri tersebut.Pada masa dahulu, di tanah Indragiri hiduplah seorang wanita bersama dengan anaknya seorang laki-laki bernama Tuaka. Mereka berdua hidup di sebuah gubuk tua yang berada di daerah muara sungai. Ayah Tuaka telah lama meninggal, dan kedua anak dan ibu tersebut saling menyayangi. Tuaka selalu membantu ibunya untuk menghidupi keluarga. Mereka kerap pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan kemudian dijual di kota.
Pada suatu ketika, saat pulang dari hutan untuk mencari kayu bakar, Tuaka dan ibunya melihat dua ekor ular yang besar sedang berkelahi. Mereka pun cepat berlindung untuk bersembunyi. Setelah diamati, rupanya perkelahian antara dua ekor ular tersebut sedang memperebutkan sebutir permata. Akhirnya, salah seekor dari ular tersebut mati terbunuh. Sementara seorang yang masih hidup tubuhnya penuh dengan luka-luka. Tuaka dan ibunya kemudian membawa ular yang masih hidup tersebut dan merawat lukanya untuk disembuhkan.
Beberapa hari kemudian, ular tersebut pun sembuh dan menghilang begitu saja dari rumah Tuaka. Ia meninggalkan sebutir permata di dalam keranjang. Tuaka dan ibunya terheran-heran menyaksikan keindahan dari permata yang ditinggalkan tersebut.
“Mengapa ular itu meninggalkan permatanya ya, Mak?” tanya Tuaka kepada ibunya.
“Mungkin ia ingin mengucapkan terimakasih kepada kita. Sebaiknya uang itu kita jual saja dan hasilnya kita gunakan untuk mengembangkan perdagangan.” Sahut Ibu Tuaka penuh rasa syukur. Akhirnya Tuaka pun menjual permata tersebut. Ia menjual permata itu kepada seorang saudagar dengah harga yang sangat tinggi. Sampai-sampai uang saudagar tersebut tidak cukup untuk membayarnya secara lunas. Akhirnya, Tuaka pun diajak ke Temasik untuk menjemput semua uang dari hasil penjualan permata tersebut. Setelah berpamitan dengan ibunya, Tuaka pun ikut saudagar tersebut ke daerah Temasik (Singapura).
Setibanya di Temasik, saudagar tersebut pun membayarkan uang penjualan permata tersebut kepada Tuaka. Uang yang diperoleh sangat banyak dan berlimpah, sampai-sampai Tuaka lupa untuk kembali pulang ke kampung menemui ibunya. Ia pun berdagang di Temasik sampai kemudian ia berhasil mengembangkan usahanya dan menjadi seorang pengusaha kaya raya. Rumahnya sangat megah, ia memiliki banyak kapal dan banyak pula istrinya. Ia sudah melupakan ibunya yang miskin dan tinggal di kampung halaman.
Pada suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar menggunakan kapal yang megah ke suatu tempat. Sampai kemudian ia tiba dikampung halamannya. Akan tetapi, Tuaka tidak menceritakan kepada istrinya mengenai kondisinya yang sebenarnya di kampung halaman. Ia malu dengan keadaan ibunya yang sudah tua dan miskin. Kabar kedatangan Tuaka ke kampung halamannya tersebut pun terdengar oleh sang ibu. Ibunya bergegas ingin menemui Tuaka. Ia mengayuh sampan dan mendekati kapal besar milik Tuaka.
“Tuaka anakku. Emak merindukanmu, nak,” teriak emak dari sampan.
“Siapa gerangan wanita tua itu,” tanya istri Tuaka. Tuaka yang malu mengetahui emaknya yang tua dan miskin datang ke kapal megahnya, pura-pura tidak mengenalinya.
“Hei penjaga, jauhkan wanita tua miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka.
Emak Tuaka pun pergi menjauh dengan sedih. “Oh Tuhan... ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar ratapan emak Tuaka. Tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor elang dan istrinya menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka terkejut dan juga sedih melihat anaknya berubah menjadi burung elang, karena emak pun masih menyayangi anaknya tersebut. Burung elang dan burung punai itu pun terus berputar-putar sambil menangis di atas emak Tuaka. Air mata kedua burung itu terus menetes dan membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka (Batang Tuaka).
Itulah Cerita Rakyat Melayu Batang Tuaka yang terkenal di Riau dari daerah Indragiri Hilir. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah cerita rakyat ini.
Gambar : Adicita Jogjakarta