Jakarta, Driau.com -- Perusahaan tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia terang-terangan menolak aturan yang diberlakukann Pemerintah Pusat, yakni UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara.
Freeport mengaku keberatan jika harus membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter di Indonesia. Alasannya, pengolahan bahan tambang di dalam negeri tidak mendatangkan keuntungan, bahkan cenderung merugikan perusahaan.
Pemerintah tak berdaya menghadapi Freeport yang meminta dispensasi agar tetap diperbolehkan mengekspor bahan mentah tanpa diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Ancaman Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang bakal menutup operasional perusahaan tambang yang tidak mematuhi UU minerba tersebut, ternyata tumpul.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan tidak ada sanksi tegas bagi Freeport jika belum melaksanakan proses hilirisasi bahan mentah tambang di dalam negeri pada 2014. Bahkan, pemerintah membuka kemungkinan memberi kebijakan khusus bagi perusahaan asal Amerika Serikat itu.
Kondisi ini semakin menegaskan kuatnya dominasi perusahaan asing di Indonesia. DPR pun geram dengan ulah Freeport yang tak mau mematuhi amanat UU. "Mereka itu duitnya paling banyak, tidak ada alasan tidak mau bangun smelter. Mereka harusnya paham kalau itu UU, keputusan harus dihormati," ujar anggota Komisi VII DPR Ismayatun kepada merdeka.com di Jakarta, Kamis (15/8) malam.
Dia meminta pemerintah tidak kalah lagi dari Freeport. Menurutnya, jika Freeport masih mau beroperasi di Indonesia dan mengeruk kekayaan alam Indonesia, maka harus menuruti aturan yang berlaku. Politisi PDI-P ini pun setuju jika harus ada langkah tegas dari pemerintah terhadap Freeport.
"Kalau tidak mau ikuti UU, itu sama saja melecehkan republik ini. Jangan kalah lagi, saya setuju kalau memang harus tegas ditutup karena tidak mau ikut aturan UU," tegasnya.
Menurutnya, jika pemerintah mengistimewakan Freeport, maka ini menjadi preseden buruk bagi bisnis sektor migas nasional. Freeport sebagai perusahaan tambang terbesar di Indonesia, akan menjadi tolak ukur bagi perusahaan tambang lain yang lebih kecil. Jika Freeport membandel dan tidak mau bangun pabrik pengolahan sendiri, maka perusahaan tambang lain akan mengikuti.
"Kalau Freeport tidak mau bangun smelter, mereka beri contoh yang tidak baik untuk perusahaan lain. Mereka akan bilang, tuh Freeport saja tidak mau bangun," katanya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Bahan Tambang Kementerian ESDM Thamrin Sihite mengatakan, Freeport bakal diberi keleluasaan jika terbukti tak mampu mengolah tembaga dan emas mereka di dalam negeri. Mekanismenya akan dipikirkan, tapi tidak melanggar aturan larangan ekspor bahan mentah mulai 2014.
"Ada fleksibilitas lah, tapi selalu dasar saya undang-undang," ujar Thamrin di kantornya.
Namun, Dirjen Minerba menampik jika pemerintah dianggap tak tegas terhadap Freeport, ataupun perusahaan asing lain yang tak menjalankan kebijakan hilirisasi. Sebab, semua tambang tetap diwajibkan mengolah bahan mentah di dalam negeri tahun depan, sesuai aturan UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
Thamrin tak mempermasalahkan, apakah Freeport membangun sendiri smelter, ataupun menggandeng mitra untuk memprosesnya. "Pokoknya semua kontrak karya setelah berlakunya UU itu harus mengolah (bahan mentah) di dalam negeri, mengolah itu filosofinya bukan hanya membangun (smelter) tapi juga diproses oleh perusahaan dalam negeri," tandasnya.
Thamrin menyalahkan anggapan publik bahwa kewajiban hilirisasi itu merupakan bentuk larangan pemerintah untuk eksportasi bahan tambang mentah.
"Jangan dibilang hilirisasi berarti melarang ekspor bahan mentah, lebih tepat disebut pengendalian produksi. Malah sebetulnya, kita ingin produksi lebih banyak diserap di domestik," paparnya.
Dalam UU Nomor 4/2009 disebutkan bahwa pelaku usaha tambang diwajibkan untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter di dalam negeri selambatnya 2014. Menurut Thamrin, upaya itu untuk mencegah keburukan pengelolaan sumber daya migas di Tanah Air merambat ke tambang.
"Kita tetap ada kadar tertentu yang bisa di ekspor, tapi kalau biji mineral sampai tidak diolah di dalam negeri, gimana? Jangan sampai kayak minyak mentah yang kita ekspor, diolah di luar negeri, terus kita impor lagi," katanya. (fas)