Pojok Redaksi: Arus Mudik Telah Berakhir

Arus mudik Lebaran berangsur pulih. Yang tersisa adalah evaluasi yang membuat kita mengelus dada. Dari data Polda Sumbar, sebagian besar kecelakaan melibatkan roda dua. Hingga H+3 Lebaran atau Minggu (11/8), tercatat korban jiwa sebanyak 30 orang. Sedangkan data Mabes Polri, jumlah kecelakaan di jalur mudik mencapai 2.337 kejadian. Kecelakaan tersebut menewaskan 518 orang. Meski masih cukup tinggi, jumlah kecelakaan kali ini menurun dibandingkan tahun lalu. Yakni, 3.284 kejadian (turun 29 persen) dengan 587 korban meninggal (turun 12 persen).

Sepeda motor! Moda inilah yang menjadi aktor utama kecelakaan di jalan raya. Lihat saja, jumlah roda dua yang terlibat melebihi jumlah kecelakaan itu sendiri. Karena itu, korban yang meninggal di ”ladang pembantaian” yang bernama jalan raya saat arus mudik adalah masyarakat menengah ke bawah.

Mereka yang hanya bisa pulang untuk bersilaturahmi ke kampung halaman dengan menggunakan roda dua. Ada beberapa faktor mengapa masyarakat ”terpaksa” menggu­nakan roda dua. Pertama, cara ini paling ekonomis. Hanya dengan mengisi beberapa liter bensin, mereka sekeluarga sudah bisa pulang kampung. Tidak ada yang lebih murah daripada kendaraan roda dua ini. Pemerintah harus mencari antitesis untuk menyiapkan kendaraan murah yang bisa dijangkau publik.

Gerakan mudik gratis termasuk salah satu antisipasinya. Tapi, fasilitas tersebut masih sangat terbatas. Terbatas dalam arti kuantitas serta terbatas dalam pengertian jarak tempuh. Karena bus gratis distinasinya adalah terminal di kota, sementara sebagian besar pemudik harus menjangkau tempat tinggalnya di pelosok nagari. Problem yang juga harus dipecahkan, bagaimana arus mudik semakin mendekatkan pemudik dengan tempat tinggalnya. Bila mudik gratis mulai tren di Jakarta pada tahun ini, terobosan serupa belum tampak di Riau.

Faktor lain adalah jalan pikir masyarakat dan mentalitas pemudik. Saudara kita yang mudik dengan motor juga nekat menantang maut. Motor yang kapasitasnya hanya untuk dua orang, sering digunakan dengan empat jiwa bila keluarga itu mempunyai dua anak. Pemadangan miris, seperti menempatkan anak di depan, menjadi hal biasa melintas selama mudik. Anak dijadikan tameng. Anak kecil berada di depan untuk menahan angin sepanjang jalan. Belum lagi, cara seperti itu bisa menimbulkan ketidakseim­bangan yang berpotensi menghadirkan malapetaka.

Terhadap persoalan kedua ini, pemerintah harus pandai berkampanye agar keluarga beranak banyak tidak nekat menggunakan roda dua. Banyak caranya, termasuk memberikan prioritas bagi keluarga tersebut dalam mudik gratis. Tugas kita semua untuk menggugah pemudik roda dua agar berpikir waras.

Persoalan lain adalah fasilitas jalan jalan raya bagi roda dua. Tingginya angka kecelakaan roda dua juga karena mereka bercampur baur dengan roda empat, termasuk dengan bus. Memang sulit, tapi harus mulai dipikirkan cara memisahkan jalur roda dua dan roda empat. Misalnya, memisahkan rute roda dua dan mobil. Arus besar motor hanya lewat jalur-jalur alternatif. Jalan raya yang mau tidak mau, juga harus dilewati mobil dan motor, diberi tanda pemisah jalur.


Upaya menekan korban pemudik ini sangat berat. Apalagi, jumlah motor semakin meningkat. Tapi, peme­rintah harus bekerja keras agar angka kematian sia-sia itu bisa ditekan di setiap ”ritual” mudik. Ya Polantas, ya Kemenhub, ya Kementerian PU, ya pemda harus bekerja keras mencari solusi agar jalan tidak semakin penuh noda darah di acara mudik mendatang. ***