Internet di Indonesia mulai berkembang sejak akhir 1980-an dan di awal 1990-an mulai menjamur perusahaan penyelenggara Internet. Namun sampai saya lulus kuliah, belum ada mata kuliah yang berhubungan dengan Internet. Kini, kedua anak saya yang masih duduk di Sekolah Dasar (SD) mendapatkan bahan mata pelajarannya melalui blog gurunya. Saat saya masih SD, sumber referensi saya hanya sebatas buku pelajaran sekolah dan koleksi ensiklopedia Khazanah Pengetahuan Bagi Anak-Anak. Kini, anak-anak saya mengalami banjir informasi, mulai dari kanal TV ilmu pengetahuan seperti Discovery dan National Geographic, sampai mencari referensi pelajaran menggunakan Google dan YouTube.
Banjir informasi
Banjir informasi
Kemajuan teknologi selalu lebih cepat ketimbang berbagai hal dalam kehidupan. Penyampaian informasi yang seketika, kemampuan mesin pencari yang mampu melakukan pencarian akurat ketika diberikan kata kunci yang benar, membuat generasi yang sejak awal sudah terpapar kelebihan informasi seperti kebingungan ketika harus melakukan sintesa secara mandiri terhadap informasi yang diterimanya.
Dalam berbagai milis yang saya ikuti, sering muncul permintaan mahasiswa tentang sumbangan ide topik. Ketika sudah diberikan ide topiknya, permintaan berlanjut ke bagaimana cara mengerjakannya.Bisa dibilang, generasi masa kini adalah generasi digital. Sejak lahir, fotonya sudah langsung di-upload ke media sosial, berinteraksi dengan teman dekat maupun teman di mancanegara langsung melalui Twitter, dan mencari informasi baik tulisan, gambar, maupun video semudah menggunakan smartphone.
Dengan segala kemudahan ini, kesulitan bergeser dari terbatasnya sumber informasi menjadi memilah informasi yang relevan. Para pengajar seperti guru dan dosen sepertinya belum semuanya siap untuk mengajari anak didiknya bagaimana menggunakan kemudahan yang ditawarkan teknologi masa kini.
Adaptasi dengan era digital
Pada tahun 2007, Mark Shuttleworth, pendiri Canonical yang membuat paket distribusi Ubuntu, menuliskan kalimat yang terkenal ini di blognya: “Those who try to impose analog rules on digital content will find themselves on the wrong side of the tidal wave.” Walaupun sebenarnya konteks kalimat itu berhubungan dengan DRM (Digital Rights Management), namun bisa diaplikasikan secara universal ke dunia digital. Janganlah menggunakan aturan lama (analog) untuk diterapkan dalam dunia digital.
Lalu, bagaimana dengan para pengajar generasi digital ini jika masih menggunakan aturan lama?
Saran saya bagi para pengajar adalah jangan berhenti belajar tentang dunia digital. Hal ini tentu saja harus difasilitasi pemerintah ataupun swasta, baik dengan jalan memberikan fasilitas Internetdi sekolah bagi guru atau diberi subsidi untuk akses Internet. Para dosen sepertinya sudah didukung dengan fasilitas di tempat mengajarnya masing-masing.
Tinggal keinginan dari diri sendiri untuk terus belajar menggunakan teknologi yang selalu maju agar tidak terlalu tertinggal dari anak didiknya. Generasi digital juga jangan terlena dengan segala kemudahan yang ditawarkan teknologi. Jangan mudah meminta apa pun kepada komunitas online untuk melayani segala kebutuhan. Kelihatannya memang menggoda mendapatkan jawaban dari orang lain dan tinggal menyalinnya sebagai jawaban tugas-tugas yang diberikan guru atau dosen.
Namun itu berarti, hal yang sudah dipelajari hanya cara menyalin tulisan orang lain, bukan bagaimana cara mengerti pertanyaan, memilah dan memahami informasi yang relevan, lalu mencerna jawaban dari pemahaman yang telah didapat.Orang-orang yang hanya sekadar memberikan tautan (link) Google ataupun tidak mau menjawab, justru sebenarnya membantu generasi digital ini untuk bisa belajar secara mandiri. (cont)
editor: Rmh Blogger Riau (76/team)
Foto : Eko Juniarto