Pada masa dulu, di tanah Melayu hiduplah dua ekor burung yang saling bersahabat. Burung tersebut adalah Burung Tempua dan Burung Puyuh. Burung Tempua dan Burung Puyuh merupakan dua burung yang bersahabat sangat dekat. Dimana ada Tempua disitu ada Puyuh. Mereka selalu bepergian bersama, baik untuk mencari makan maupun untuk sekedar terbang bersama. Suka duka selalu mereka hadapi bersama, baik saat kehujanan maupun saat berteduh di cuaca yang panas. Kedua burung tersebut hanya berpisah pada saat tidur di malam hari, yakni saat mereka memilih jenis sarangnya masing-masing. Meskipun dalam banyak hal mereka punya satu kesamaan, namun dalam hal berteduh dan bersarang di malam hari, keduanya memiliki selera yang berbeda, sesuai dengan kondisi diri masing-masing.
Suatu hari keduanya saling bertemu sambil membincangkan keistimewaan dari sarang masing-masing. “Aku memiliki sarang yang cantik. Sarangku terbuat dari helaian alang-alang dan rumput kering. Helaian itu dijalin dengan rapi sehingga tidak akan basah saat hujan, dan tidak akan kepanasan di kala terik. Aku menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membuatnya,” kata Tempua.
Sarang Tempua bisanya tergantung tinggi di atas pohon walaupun ada yang agak rendah. Jikalau pun rendah maka pasti di dekatnya ada sarang ular, lebah atau penyengat. Tempua berlindung pada hewan-hewan tersebut. Kalau Tempua bersarang pada posisi rendah, pastilah ada yang dapat menjaganya. Orang Melayu mengatakan, “kalau tidak ada berada, takkan mungkin Tempua bersarang rendah.” Hanya karena keberadaan sesuatu hal (penjaga) maka Tempua mau bersarang di dahan rendah.
Berbeda dengan sahabatnya buruh Tempua, burung Puyuh lebih suka dengan jenis sarang yang praktis. Burung Puyuh merasa tak perlu bersusah payah membangun sarang yang nyaman seperti yang dilakukan oleh burung Tempua. Ia lebih suka tinggal disebuah batang pohon yang tumbang. Apabila ia merasa tempat itu sudah tidak nyaman, maka biasanya ia akan mencari pohon yang lain. “Dengan sarang berpindah-pindah, musuh tidak tahu keberadaanku pada malam hari,” kata Puyuh.
Akhirnya, kedua burung tersebut sepakat untuk mencoba sarang masing-masing. Malam pertama, burung Puyuh tinggal di sarang burung Tempua. Dengan susah payah Puyuh memanjat pohon sarang Tempua tergantung. Sesampai di sarang Tempua, Puyuh terkagum-kagum melihat sarang Tempua yang nyaman, kering dan bersih serta rapi. Kemudian, malam pun berlarut, Puyuh merasa haus dan meminta minum kepada Tempua. “Maaf kawan. Tidak mungkin aku terbang dan turun mencari air karena keadaan gelap gulita,” kata Tempua. Puyuh pun tertidur dalam kehausan. Tak lama ketika Puyuh dan Tempua tidur pulas, tiba-tiba angin bertiup kencang. Pohon tempat sarang Tempua pun bergoyang-goyang seakan-akan mau tumbang. Sarang Tempua pun terayun-ayun. Puyuh ketakutan sekali dan seakan-akan mau muntah karena terombang-ambing. “Tenanglah kawan, kita tidak akan jatuh,” kata Tempua menghibur. Tak lama angin pun reda. Keesokan harinya Puyuh berkata, “kawan, aku tak mau lagi tidur di sarangmu. Aku takut jatuh lagi pula aku tidak bisa menahan haus.” Tempua diam saja dan memaklumi alasan Puyuh.
Malam berikutnya, giliran Tempua yang mencoba tidur di sarang Puyuh. Tempua merasa tidak nyaman dengan bersarang di bawah batang pohon yang tumbang. Namun ia tetap mengikuti sahabatnya. Akhirnya pada tengah malam, seperti yang ditakutkan oleh Tempua, hujan pun turun. Tubuh Tempua menggigil. Ia pun mengeluh pada Puyuh, “Kawan, badanku dingin sekali.” Dengan santai Puyuh menyahut, “Tenang saja kawan, nanti kalau hujan sudah reda, badan kamu tidak akan dingin lagi.”
Keesokan harinya, Tempua pun akhirnya mengaku tidak bisa bermalam di sarang Puyuh. Dan dengan penuh pengertian, Puyuh memahami hal tersebut. Kedua sahabat tersebut akhirnya sadar, bahwa setiap makhluk mempunyai karakter dan kesukaan yang berbeda dan tidak bisa dipaksakan. Keduanya tetap menghargai perbedaan, meskipun mungkin juga memiliki banyak kesamaan.
Demikianlah cerita rakyat melayu dari Riau yang berjudul Burung Tempua ini. Semoga kita semua mendapat pelajaran berharga.