Pernyataan Amnesti ini dirilis dua hari setelah setidaknya 51 orang tewas, sebagian besar dari mereka adalah pendukung Muhammad Mursi dalam bentrokan di luar markas pasukan elite Garda Republik di Kairo.
"Meski militer Mesir mengklaim para pengunjuk rasa terlebih dahulu menyerang dalam bentrokan hari Senin itu, dan tak ada perempuan atau anak-anak yang terluka, bukti-bukti yang dikumpulkan Amensti Internasional menunjukkan gambaran yang jauh berbeda," kata Direktur Regional Amnesti Internasional, Hassiba Hadj Sahraoui.
"Bahkan, jika sejumlah pengunjuk rasa menggunakan kekerasan, respons yang ditunjukkan militer sangat tidak proporsional yang menyebabkan hilangnya nyawa dan luka di antara pengunjuk rasa," tambah Saharaoui.
Amnesti menambahkan, para aktivisnya mengunjungi kamar mayat, rumah-rumah sakit, dan lokasi kekerasan di Kairo dan Alexandria. Mereka juga mengumpulkan kesaksian dari para pengunjuk rasa yang terluka dan kerabat korban tewas.
"Semua itu mengarahkan kepada penggunaan senjata mematikan secara tidak tepat oleh aparat keamanan," Saharaoui menegaskan.
"Sebagian besar korban tewas dan luka tertembak di bagian kepala dan tubuh bagian atas dengan peluru tajam," lanjut Saharaoui.
Amnesti menambahkan, jika militer Mesir tidak mengendalikan dan melarang penggunaan senjata mematikan, kehancuran sudah di depan mata.
Amnesti melanjutkan, setidaknya 88 orang tewas, termasuk tiga aparat keamanan, dalam rangkaian kekerasan politik yang terjadi sejak akhir pekan lalu di Mesir. Sementara itu, tak kurang dari 1.500 orang terluka dalam kerusuhan di seluruh penjuru Mesir.