Dalam buku Community Media in The Information Age, Nicholas Jankowski (2002) menyatakan bahwa seiring dengan perkembangan jejaring teknologi elektronik dan digital, komunitas virtual terus terbentuk. Perkembangan revolusioner di bidang teknologi tersebut telah menambahkan arti sebuah komunitas, dibandingkan dengan pengertian konvensional yang selama ini berkembang.
Oleh karena itu, definisi sebuah komunitas yang memiliki kesamaan secara geografis dapat pula diperluas dengan adanya ‘community of interest’ (komunitas minat) karena para anggotanya memiliki persamaan minat dalam hal budaya, sosial, ekonomi, atau politik, yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan mereka secara geografis. Komunitas ini yang paling nyata difasilitasi oleh media yang menawarkan konsep segmentasi sempit atau dengan bahasa lain disebut media komunitas.
Jankowski (2002) menegaskan bahwa media komunitas dapat diwujudkan ke dalam bermacam bentuk media, baik tradisional yaitu media cetak (surat kabar dan majalah), media elektronik (radio, televisi), serta dalam bentuk penggabungan (konvergensi) antara media cetak dengan media elektronik, misalnya dalam bentuk situs internet atau website.
Perwujudan media komunitas banyak ditemukan di dalam format inisiatif jaringan elektronik (electronic network initiatives), yang sering juga disebut sebagai ‘jaringan pendidikan publik’ (publik educational networks’), ‘jaringan akses publik’ (publik access networks), ‘jaringan sipil’ (civic networks), ‘internet bebas’ (free-nets), ‘kota digital’ (digital cities), atau ‘jaringan komunitas’ (community networks). Jaringan tersebut sering dibangun atas dasar kerja sama antara organisasi dan institusi komunitas seperti sekolah, perpustakaan, dan pemerintah daerah.
Tujuan pembangunan fasilitas tersebut bervariasi, antara lain untuk menyebarluaskan sumber teknologi informasi kepada masyarakat, mendukung proyek pembangunan komunitas, penyediaan informasi , atau untuk merangsang keterlibatan masyarakat di dalam aktivitas sosial serta politik setempat.
Secara rinci karakter umum media komunitas menurut Jankowski (2002) adalah sebagai berikut:
1. Tujuan
Menyajikan berita dan informasi relevan yang dibutuhkan anggota komunitas dan mengajak anggota masyarakat berpartisipasi dalam komunikasi publik melalui media komunitas.
2. Kontrol dan kepemilikan
Mayoritas saham media komunitas dikuasai oleh penduduk lokal, pemerintah lokal, atau organisasi berbasis komunitas.
3. Isi berorientasi lokal
Hal ini senada dengan prinsip kedekatan (proximity) dan jurnalistik sebagai nilai berita(news value)
a. Produksi media, yang dikerjakan oleh pekerja nonprofesional dan sukarelawan.
b. Distribusi, melalui jaringan, “televisi kabel” atau model jaringan khusus lainnya, seperti jalur inependen dalam industri musik dan film.
c. Audiens, lingkup audiens biasanya bersifat lokal yang jumlahnya relatif kecil, lokasinya jelas secara geografis. Beberapa jaringan komunitas terbilan luas dengan audiens yang menyebar.
d. Keuangan
Secara mendasar pendanaan bersifat nonkomersial, namun dana yang masuk bisa berasal dari sponsorship, iklan, dan subsidi pemerintah.
Karakteristik tersebut merupakan gambaran umum yang ada dalam media komunitas secara fleksibel. Pada kenyataannya, bisa saja terjadi sebuah media massa baik dalam bentuk cetak maupun elektronik, lahir dengan penambahan dan pengurangan dari karakteristik yang ada. Selain itu, menurut Jankowski perbedaan skala antara media komunitas dan media massa bersifat relatif. Sebab, luas ruang lingkup suatu komunitas secara geografis sulit untuk didefinisikan. Metode komunikasi serta jenis medium yang digunakan juga tidak dapat digunakan sebagai pembeda antara media komunitas dengan media massa. Sejalan dengan semakin fokusnya komunikasi yang dilakukan begitu juga dengan semakin terarahnya segmen dan target yang dituju (Narrow Marketing). Dengan semakin berkembangnya kompetisi tingkat pemecahan target bisa semakin sempit dan semakin terarah (targeted). Ini merupakan dukungan untuk mencapai top of mindsebagaimana pengertian segmentasi sebagai pertempuran memperebutkan kapling di benak konsumen.
* Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)Yogyakarta