ARTIKEL
Penulis: Malin *
Sebaran titik panas (hotspot) meliputi Jambi, Bengkulu dan Riau dinyatakan sebagai Daerah darurat Bencana dengan Status Darurat (baca: siaga satu) oleh Susilo Bambang Yudhoyono, di Kantor Kepresidenan, jakarta(24/6/2013). Terlambatnya penetapan status bencana ini sebagai bukti ketidaksiapan Pemerintah Daerah dan Pusat terhadap penanggulangan bencana, dimana sebelumnya sudah disibukkan oleh tarik ulur kenaikkan BBM. Peringatan atas meluasnya titik kabut asap di Riau sebenarnya tersiar mulai sejak bulan Februari yang lewat, Satelit 'National Oceanic and Atmospheric Administration' (NOAA) 18 yang beroperasi di Singapura telah mendeteksi kemunculan sebanyak 28 titik panas (hotspot) di daratan Pulau Sumatra, 11 di antaranya berada di Riau meliputi lima Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi dan Meranti, Pelalawan Indragiri Hulu yang masing-masing terdapat satu 'hotspot', selain itu titik panas juga terdeteksi di daratan Jambi dengan jumlah mencapai 13 titik dan Sumatra Barat ada tiga titik. Kemudian di Sumatra Utara juga terdeteksi satu titik panas, tergantung cuaca melihat kemungkinan meluas atau tidaknya titik hotspot, berita ini dilansir oleh Analis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, Rabu (27/2) malam.
Perkembangannya terakhir dari hasil monitoring citra satellite awan, analisa streamline dan kondisi fisis serta dinamis atmosfer, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho yang mengatakan, berdasarkan pantauan satelit NOAA 18, pada hari Minggu (23/6/2013) kemarin, diketahui ada 154 titik api (hotspot) di Riau. "154 hotspot ini tersebar di Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 40 titik, Kabupaten Pelalawan sebanyak 35 titik, Kabupaten Siak sebanyak 18 titik, Kabupaten Bengkalis sebanyak 14 titik, Kabupaten Kampar sebanyak 12 titik, dan 12 titik di TN Tesso Nilo Riau," Senin (24/6/2013).
Lahan gambut di Riau sekitar 3,9 juta hektar yang telah banyak beralih fungsi menjadi perkebunan. Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas permukaan, seperti serasah, pepohonan, semak, dan sebagainya.
Api kemudian menyebar tidak menentu secara perlahan di bawah permukaan (ground fire). Membakar bahan organik melalui pori-pori gambut dan melalui akar semak belukar atau pohon yang bagian atasnya terbakar
Dalam perkembangannya, api menjalar secara vertikal dan horizontal berbentuk seperti kantong asap dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering) sehingga hanya asap yang berwarna putih saja yang tampak di atas permukaan. Bara api berada di bawah permukaan hingga ada yang dalamnya 10 meter dari permukaan. Tergantung tebalnya lapisan gambut.
Mengingat peristiwa kebakaran terjadinya di dalam tanah dan hanya asapnya saja yang muncul ke permukaan, maka kegiatan pemadaman seringkali mengalami banyak kesulitan. Terlebih lagi akses menuju titik api sulit dijangkau. Jadi bukan suatu hal yang mudah memadamkan titik api kebakaran lahan gambut di Riau
Kini tercatat sudah di dalam sepanjang sejarah, terjadinya titik panas terbesar dalam skala nasional. Lambannya upaya pencegahan penanganan bencana kerap terjadi diberbagai situasi bencana Nasional lainnya, seperti Gempa Bumi dan Tsunami. Tampak sekali kontrol pengawasan dan penangulangan bencana selalu tidak ditindaklanjuti dengan serius oleh pihak-pihak terkait. Hal ini telah berdampak merugikan hal-hal terhadap hubungan antar negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore, terjadinya gangguan penerbangan domestik dan Internasional, meningkatnya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), matinya roda ekonomi daerah, yang terakhir berakibat menambah penilaian akan rendahnya keseriusan pemerintah atas situasi bencana yang terjadi dan Riau telah menjadi wilayah yang berpotensi bencana dengan status darurat.
* Penulis Lepas di pekanbaru